" Dimulai Dari Ruang Ini Kami Memberi Kontribusi Pemikiran Bagi Peningkatan Layanan Kedokteran - Dari Ruang Ini Pula Kami Membangun Komitmen dan Kebersamaan Bagi Peningkatan Mutu Layanan RSUD Kabupaten Bekasi ".







Minggu, 05 September 2010

Clinical Pathway & DRG Casemix,
Upaya Mengatasi Masalah Biaya Kesehatan
Berbasis Mutu & Evidence based di Rumah Sakit


Pendahuluan

Definition of Clinical Pathway : Multidisciplinary management tool based on evidence-based practice for a specific group of patients with a predictable clinical course, in which the different tasks (interventions) by the professionals involved in the patient care are defined, optimized and sequenced either by hour (ED), day (acute care) or visit (homecare). Outcomes are tied to specific interventions.
Tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia pada tingkat yang optimal merupakan “Ruh” dari cita-cita yang terdapat dalam Tujuan Pembangunan Kesehatan Indonesia. Harapan dari pembangunan bidang kesehatan sesungguhnya adalah meningkatnya kualitas kesehatan, baik kesehatan masyarakat secara umum maupun kesehatan individu. Keberhasilan upaya diatas nantinya diharapkan akan dapat menciptakan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang unggul baik fisik, mental, spiritual serta memiliki tingkat intelgensi yang tinggi, sehingga mampu untuk bersaing dengan masyarakat dari negara atau bangsa lain di dunia. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka upaya pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu harus dilakukan secara profesional, berkesinambungan, terstruktur dan terukur serta tersebar secara merata diseluruh Indonesia.

Dalam upaya mewujudkan tujuan diatas, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah beserta seluruh jejaringnya termasuk semua insan yang bekerja dibidang kesehatan giat bekerja menjalankan tugas masing-masing baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengakselerasi tercapainya Tujuan Pembangunan Kesehatan. Dalam pelaksanaannya terdapat banyak kendala yang dihadapi, seperti: sikap perilaku masyarakat sendiri, perbedaan persepsi antara konseptor dan pelaksana program kesehatan pada berbagai jenjang, perbedaan persepsi dan inkonsistensi sikap dari pemimpin baik pusat maupun daerah, perbedaan persepsi dalam hal penentuan prioritas kegiatan pada kepala instansi kesehatan sampai pada tingkat pelaksana program kesehatan dilapangan. Disamping hal diatas kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian Tujuan Pembangunan Bidang Kesehatan.

Berdasarkan Data Susenas 2004, rerata biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk kesehatan perbulan untuk rawat inap sebesar Rp 1.478.999 atau 22 persen dari rata-rata pengeluaran rumah tangga. Untuk rawat jalan Rp 57.967 atau 8,6 persen, biaya mengobati diri sendiri Rp 12.847 atau 1,9 persen, biaya kesehatan untuk produk dan jasa lainnya Rp 32.018 atau 4,7 persen rata-rata pengeluaran rumah tangga. Hampir 86 persen sumber dana yang dikeluarkan rumah tangga untuk biaya kesehatan berasal dari penghasilan rumah tangga, sedangkan sumber dana dari klaim asuransi 5 persen dan dari JPKM/ Jamkesmas / kartu sehat / SKTM atau Dana Sehat sebesar 7 persen.

Kemajuan Ristek Kedokteran & Peningkatan Cost Kesehatan

Sebagai insan yang bekerja dibidang kesehatan cukup sering kita mendengar keluhan bagaimana sulitnya masyarakat awam diberbagai daerah terpencil di Indonesia dalam memperoleh layanan kesehatan yang memadai dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi mereka. Bagi kebanyakan dari mereka biaya layanan kesehatan yang ada saat ini sungguh memberatkan, padahal Kementerian Kesehatan telah melakukan banyak upaya untuk membantu masyarakat miskin dan seluruh masyarakat Indonesia dalam mengurangi beban biaya yang harus ditanggung dalam upaya mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Sebagai contoh dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan antara lain Pekan Imunisasi Nasional, pengadaan Obat Generik, Puskesmas dan Posyandu, dan saat ini Jamkesmas. Semua itu merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memudahkan masyarakat miskin memperoleh layanan kesehatan yang memadai dan terjangkau, tetapi sampai saat ini masih saja terdengar bahwa biaya pengobatan atau layanan kesehatan masih cukup tinggi, barangkali tidak hanya untuk masyarakat kebanyakan, bahkan tenaga medik (dokter) sekalipun akan merasakan hal yang sama bila ia atau keluarganya kebetulan sakit dan mendapatkan layanan kesehatan tanpa dukungan Askes PNS atau asuransi kesehatan lain.

Pengamatan terhadap laju perkembangan teknologi kesehatan sangat pesat, riset untuk menghasilkan inovasi baru bidang kesehatan / kedokteran terus dilakukan, berbagai peralatan kedokteran / RS yang menggunakan teknologi modern dan berguna dalam meningkatkan kecermatan diagnostik dan mutu layanan semakin banyak bermunculan, kesemuanya itu tidak hanya menggembirakan bagi dokter tetapi juga bagi masyarakat yang memerlukan pemanfaatannya. Pertanyaan yang muncul adalah siapa sebenarnya yang membayar peralatan tersebut ?, dari kebanyakan penelusuran yang dilakukan ternyata biaya pembelian peralatan tersebut seluruhnya dibebankan pada dana yang berasal dari masyarakat pengguna (payers) yang terkadang dilakukan melalui cara yang tidak terhormat seperti peningkatan cost pemeriksaan atau melalui “rekayasa” pemeriksaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Bentuk respons yang keliru dan sama sekali tidak terpuji ini dilakukan oleh RS dengan berbagai alasan yang mengada-ada tetapi dengan tujuan yang jelas, yaitu agar peralatan modern yang dibeli dapat cepat mencapai titik impas (BEP) disamping tetap dapat menikmati keuntungan.

Perubahan Konsep Dasar RS dan Peningkatan Tarif RS

Pada fase awal era berdirinya RS di Indonesia, terdapat beberapa konsep yang mendasari / semangat yang menjiwai suatu RS yaitu : Sosial Kemasyarakatan, Agama, Sebagai fasilitas layanan kesehatan guna memenuhi kepentingan komunitas tertentu, Pendidikan ataupun kombinasi dari beberapa hal diatas. Akan tetapi belakangan ini terjadi perkembangan konsep RS disertai dengan pergeseran nilai dasar, dari konsep yang lebih menekankan pada solidaritas sosial menjadi Konsep Bisnis Murni. Bersamaan dengan perkembangan dan pergeseran tadi terjadi pula perubahan peningkatan status sosial ekonomi masyarakat yang secara otomatis diikuti pula dengan peningkatan needs & demands masyarakat terhadap layanan RS berkualitas. Pergeseran dan perubahan beberapa hal diatas segera direspons oleh beberapa pemilik RS / konglomerasi RS untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari bisnis RS yang dikelolanya dengan cara menentukan tarif jauh melampaui nilai kelayakan. Pada akhirnya mudah diduga semangat saling tolong-menolong terhadap sesama hanya berupa tulisan kosong yang tercantum pada “ Visi & Misi Rumah Sakit “ tetapi sudah kehilangan arti dan maknanya.

Dengan konsep bisnis murni maka RS bergantung penuh pada uang yang dibayarkan masyarakat atas jasa layanannya, semakin banyak “payers” yang datang mencari layanan maka semakin banyak uang yang didapatkan dan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh RS / pemilik RS. Sudah selayaknya bisnis dibidang RS mendapat keuntungan agar dapat terus berjalan memberikan layanan kepada masyarakat, tetapi upaya mendapatkan keuntungan hendaknya dilakukan secara wajar dan terhormat serta tetap memperhatikan mutu layanan.

Tidak adanya standar acuan tarif layanan yang ditetapkan secara umum disertai lemahnya peran kontrol Dinas Kesehatan Provinsi / Kabupaten / Kota sebagai ‘Otoritas Kesehatan’ diwilayahnya menyebabkan terdapatnya perbedaan mencolok tarif RS (inter maupun antar RS). Sebagai contoh : Pasien typhus abdominalis tanpa komplikasi yang dirawat di “RS. A”, memiliki lama hari rawat, jenis pemeriksaan dan besaran biaya sangat berbeda bermakna dengan penyakit yang sama bila penderita dirawat di “RS.B” ? (tentunya dengan kelas dan fasilitas yang sama). Demikian juga dengan operasi tonsilektomi yang dilakukan di di “RS. X” taruhlah dirawat di klas I ternyata biaya yang dibayarkan oleh orang tua pasien berbeda bermakna dengan bila ia dirawat di “RS.Y” meskipun sama kelas dan fasilitasnya, sama jenis pemeriksaannya, sama lama hari rawatnya dan bahkan sama pula dokter yang mengoperasinya. Seyogyanya perbedaan tarif baik didalam satu RS (antar kelas) ataupun antar RS hanya mengacu pada perbedaan fasilitas dan sumber daya yang digunakan.

Berbagai survey yang dilakukan oleh institusi pajak di sebagian negara Eropa membuktikan bahwa peningkatan besaran tarif RS diatas batas kewajaran, ternyata tidak memberikan perbedaan secara bermakna pada take homepay dokter / perawat / tenaga fungsional kesehatan lain yang bekerja di RS tersebut. Hal ini disebabkan mekanisme bagihasil yang dipakai cenderung menguntungkan pemilik RS, besaran nilai pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dokter, kecenderungan masyarakat mencari RS yang sesuai dengan kemampuannya serta premi asuransi profesi yang harus dibayar oleh dokter dari risiko gugatan (merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh dokter untuk dapat diterima bekerja di RS). Dari beberapa survey lain ternyata disimpulkan pula bahwa penguasaan ilmu dan keterampilan kedokteran, peningkatan mutu layanan rumah sakit secara keseluruhan, dukungan teknologi kedokteran yang dilaksanakan secara efektif dan efisien disertai dukungan kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang merawatnya ternyata berhasil dalam meningkatkan jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap, mengurangi insidensi tuntutan hukum dan dapat menjadi RS yang disukai masyarakat dan favorit. Hal tersebut diyakini merupakan kunci keberhasilan beberapa RS terkenal di Eropa dan Amerika dalam meningkatkan kesejahteraan umum di RS tersebut.

Konsep Diagnosis Related Groups (DRG’s) Casemix

Di Indonesia ilustrasi diatas bukan hanya terjadi di RS Swasta ataupun RS milik BUMN akan tetapi juga terjadi di RSUD ataupun RSD yang nota bene adalah milik Pemerintah Daerah, kondisi ini disadari oleh Pemerintah, sehingga pada tahun 1993 terbitlah Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 436 / Menkes / SK / VI / 1993 tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis.

Menindaklanjuti permasalahan diatas, sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Kesehatan mulai memperkenalkan pendekatan yang diyakini dapat mengatasi permasalahan tersebut melalui suatu “Sistem Pelayanan Kesehatan Terkendali” yang efektif, efisien, berorientasi pada mutu, dimana efektifitas dan cost containment dari layanan selalu mengacu pada evidence based. Pendekatan ini dikenal dengan nama “Diagnosis Related Groups (DRG’s) - Casemix”.

Konsep DRG’s Casemix pada dasarnya merupakan pengelompokkan layanan medik rawat inap ke dalam suatu besaran biaya tertentu berdasarkan diagnosis penyakit (“Bundling of services into one payment rate based on diagnosis”). Disain konsep ini berbentuk format klasifikasi kombinasi jenis penyakit, tindakan medis dan sumber daya real yang digunakan dikaitkan dengan dengan besaran biaya. Konsep ini merefleksikan efektivitas, efisiensi dan mutu layanan. Titik awal dari upaya pemberlakukan DRG’s Casemix ialah dengan membuat suatu Clinical Pathway penyakit / kasus.

Kelebihan lain yang dimiliki, konsep ini dapat juga digunakan sebagai acuan dalam menghitung penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam penyediaan layanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu metode perhitungan alokasi dana dan upaya yang hanya didasarkan pada jumlah tempat tidur, tanpa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi layanan selayaknya sudah harus ditinggalkan.

Dalam sistem DRG’s-Casemix, yang menjadi perhatian adalah bauran kasus, yaitu “Diagnosis Utama” penyakit serta “Komplikasi” yang mungkin terjadi. Diagnosis utama menjadi dasar dalam menghitung biaya layanan, karena perhitungan biaya selalu berfokus pada variabel tersebut. Sebagai konsekuensinya RS tidak boleh lagi mencantumkan hal-hal yang tidak seharusnya ada dalam pembayaran. Penggunaan konsep ini secara utuh akan berdampak pada:

1. “Good Clinical Governance & Good Corporate Governance” tidak ada pembayaran untuk hal yang tidak berhubungan atau tidak perlu, sehingga biaya RS dapat ditekan. Masyarakat tidak akan merasa ditipu karena harus membayar biaya di luar layanan yang seharusnya.
2. “Appropriate” semua aspek layanan dilakukan berkesesuaian dengan tingkat keparahan, prinsip efektifitas & efisiensi dan bermutu.
3. ”Transparency” perhitungan biaya dilakukan secara mudah, sederhana dan dapat dimengerti sekalipun oleh masyarakat awam, sehingga memberi kepastian sekaligus transparansi pada masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.

Konsep DRG’s Casemix pertama kali dikembangkan di USA pada tahun 1980, saat ini DRG’s Casemix telah di gunakan dibanyak negara seperti, USA (sebagai pelopor), Jepang, Thailand, Australia, Malaysia, Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark, Jerman, Belgia, Irlandia, Perancis, Italia, Portugis dan Kanada. Di Indonesia Kementerian Kesehatan telah membentuk Centre for Casemix yang bertugas untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data-data DRG's Casemix yang akan digunakan sebagai embryo INA DRG’s-Casemix .
Sejak lebih dari 2 tahun ini dilakukan ujicoba DRG Casemix pada 15 RS vertikal Kementerian Kesehatan, berikut adalah daftar RS yang menjadi Pilot Project DRG’s Casemix :
1. RSUP H. Adam Malik, Medan
2. RSUP Dr. M. Djamil, Padang
3. RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang
4. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5. RSUP Fatmawati, Jakarta
6. RSUP Persahabatan, Jakarta
7. RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta
8. RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
9. RS Kanker Dharmais, Jakarta
10. RSUP Hasan Sadikin, Bandung
11. RSUP Dr. Kariadi, Semarang
12. RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
13. RSUP Sanglah, Denpasar
14. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
15. RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado

Klasifikasi DRG’s-Casemix yang diuji cobakan meliputi berbagai RS, seperti pasien akut (emergency), rawat jalan, rawat inap dan rehabilitasi. Pengalaman dari negara-negara lain menunjukkan bahwa DRG’s-Casemix dapat digunakan RS untuk berbagai keperluan seperti : membandingkan lama hari rawat, metode layanan medis dan keperawatan, jenis dan jumlah pemeriksaan penunjang serta biaya layanan yang harus dibayar. Berdasarkan pada data yang dihimpun maka baik staf medis RS maupun manajemen RS dapat membandingkan cost containment, mutu layanan medis, outcome, dan tingkat kepuasan (pasien dan keluarga) layanan RS. Pada akhirnya DRG Casemix dapat menunjukkan pendekatan asuhan medik terbaik, mengatur kendali biaya pengobatan dengan prinsip efektif & efisien, mendapatkan outcome yang lebih baik serta mendapatkan tingkat kepuasan pasien dan keluarga yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode konvensional, selain itu DRG’s-Casemix dapat juga dipakai sebagai tools bagi tatalaksana manajemen data dan informasi rumah sakit untuk pembuatan Rencana Strategis & RBA RS selanjutnya.

Permasalahan Dalam Implementasi DRG’s-Casemix

Meskipun demikian patut disadari bahwa tidak ada satu sistem pembiayaan RS yang sempurna, karena masih ada permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasi DRG, misalnya saja perpindahan pasien pada DRG’s yang lebih mahal, yang dikenal sebagai “DRG creeps”, oleh karena itu DRG’s tidak diterapkan pada ruang isolasi, HCU dan ICU. Sebagai gantinya pada ruang layanan tersebut diterapkan format mekanisme pengendalian lain seperti asuransi khusus, audit medis dan sebagainya.

Tantangan Dalam Implementasi DRG’s-Casemix

Untuk mencapai hasil yang baik dalam penerapan sistem DRG’s-Casemix maka diagnosis pasien dan coding harus dicatat dengan teliti, hal ini untuk mencegah data-data pasien tidak dapat dikodekan oleh karena catatan pada status pasien hilang atau lupa dituliskan, rekam medis tidak dibuat lengkap, banyak informasi medis dan non medis yang tidak dicantumkan dan lain-lain. Selain itu diperlukan pula pengumpulan informasi atas biaya-biaya berbagai tindakan medis dan keperawatan yang dilakukan. Berkembangnya biaya dan Index DRG’s-Casemix pada beberapa kasus merupakan tantangan yang sangat perlu diperhatikan. Upaya awal yang perlu dilakukan dalam penerapan sistem DRG’s- Casemix di RS adalah :
1. Motivasi dan Komitmen, Dalam rangka mencapai Tujuan RS melalui kesempurnaan layanan maka motivasi dan komitmen merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh ketiga otoritas dalam RS (Pemilik, Direksi & Staf medik)
2. Training, Staf rumah sakit perlu mendapatkan pelatihan secara berkala dan harus dilibatkan dalam semua tahapan perencanaan RS.
3. Training khusus bagi staf medik dalam upaya memahami dan mampu membuat Clinical Pathway yang sesuai bagi pelaksanaan Konsep DRG’s-Casemix di RS nya.
4. Penggunaan perangkat teknologi informasi & komunikasi jelas sangat memudahkan penerapan Casemix.
5. Evaluasi dan monitoring, diperlukan dalam menilai keberhasilan dari pelaksanaan program tersebut

Saat ini selain ke 15 rumah sakit Pilot Project, sudah dimulai menggunakan prosedur pengkodean medik terutama dalam penanganan Jamkesmas / Askeskin di RSUD dan beberapa RS yang ditunjuk . Kementerian Kesehatan memperhatikan hal ini secara serius dan secepatnya akan mengembangkan pengimplementasian prosedur pengkodean secara luas, sedangkan untuk prosedur medis atau tindakan medis digunakan International Classification of Diseases Revision IX-Clinical Modification ( ICD-IX-CM). Sebelumnya kita ketahui sejak tahun 1997 Kementerian Kesehatan telah mengembangkan secara luas penerapan International Classification of Diseases Revision X (ICD-X).

Pembuatan Clinical Pathway & DRG Casemix

Clinical Pathway dapat didefinisikan sebagai “Pendekatan multidisplin yang berbasis waktu yang digunakan untuk membantu pasien & dokter mencapai luaran positif yang diharapkan” (Middleton dan Roberts, 1998).
Dalam membuat Clinical Pathway & DRG Casemix, terdapat 14 variabel yang harus diinput dengan memperhatikan kasus yang dihadapi. Ke 14 variabel tersebut adalah :
1. Identitas Pasien
2. Tanggal masuk rumah sakit
3. Tanggal keluar rumah sakit
4. Lama hari rawat
5. Tanggal lahir
6. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan tahun)
7. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan hari)
8. Umur ketika keluar dari rumah sakit (satuan hari)
9. Jenis kelamin
10. Status keluar rumah sakit (discharge disposition)
11. Berat badan baru lahir
12. Diagnosis utama
13. Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas
14. Prosedur atau pembedahan utama

Ciri dari Clinical Pathway

”Clinical Pathways document potential steps in the diagnosis and treatment of a condition or procedure for individual patients. These are predominantly management tools and are based on clinical information developed in other guidelines or parameters. They are specific to the institution using them”.
Aspek yang dicakup dalam Clinical Pathway dapat bervariasi mulai dari:
1. Diagnosis,
2. Pemeriksaan penunjang,
3. Terapi dan rehabilitasi suatu penyakit.
Clinical Pathway digunakan sebagai perangkat tatakelola kasus yang disesuaikan dengan bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik dan standar pelayanan medik berbasis bukti.
Tujuan penggunaan Clinical Pathway adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik,
2. Meramalkan lama tinggal di RS dan jumlah pemeriksaan,
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf medik RS yang terlibat dalam pemberian layanan kesehatan / kedokteran.
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien disamping transparansi pembiayaan.

Model format suatu Clinical Pathway adalah dalam bentuk tabel-waktu yang berisi kegiatan-kegiatan pelayanan yang harus dijalani oleh seorang pasien. Petugas yang terkait dengan pelayanan pasien akan merujuk ke daftar tilik pasien dan memberikan catatan pada daftar tilik tersebut. Segala bentuk varian yang muncul pada proses layanan harus dicatat dan diberi penjelasan demi menyempurnakan Clinical Pathway. Sebuah Clinical Pathway pada umumnya ditunjang dengan “algoritma tatakelola” dalam sebuah kerangka kerja yang disusun berdasar kemungkinan skenario yang terjadi pada pasien. Langkah pertama dalam pengembangan Clinical Pathway adalah pemilihan topik Pathway. Pemilihan topik Pathway haruslah suatu kasus yang:
1. Memiliki Insidensi yang tinggi
2. Berbiaya relatif mahal
3. Ada variasi dalam pelaksanaan layanannya.

Proses pemilihan topik Clinical Pathway, pada umumnya didahului dengan membuat suatu Analisis Situasi (Analisis SWOT). Sebuah Clinical Pathway seyogyanya dikembangkan oleh Tim Multidisiplin yang terlibat aktif dalam tatakelola pasien, keterlibatan semua anggota tim dalam pengembangan sebuah Clinical Pathway merupakan jaminan suksesnya penerapan Clinical Pathway itu nantinya. Dalam rangka pengembangan suatu Clinical Pathway perlu dicapai kesepakatan melalui konsensus yang disepakati bersama oleh semua anggota tim, sebab suatu konsensus diperlukan untuk mengurangi hambatan dan resistensi dalam pelaksanaan Clinical Pathway.

Konsep Penting Penerapan Clinical Pathway

Clinical Pathways (Care Pathways, Critical Pathways, Integrated Care Pathways, Care Maps) are one of the main tools used to manage the quality in healthcare concerning the standardization of care processes. It has been proven that their implementation reduces the variability in clinical practice and improves outcomes. Clinical Pathways promote organized and efficient patient care based on the evidence based practice. Clinical Pathways optimize outcomes in the acute care and homecare settings.

Clinical Pathway” merupakan perangkat bantu untuk penerapan Standar Pelayanan Medik / SPM (evidence based clinical practice guideline)”, olehkarenanya langkah dalam Clinical Pathway seyogyanya dapat juga dilakukan pada sebagian besar pasien dan mampu menghasilkan luaran yang diharapkan, berdasarkan pada konsep diatas maka Clinical Pathway juga merupakan perangkat penunjang bagi pemberlakuan SPM untuk mendorong praktek klinik berbasis bukti. Kesimpulan dari pengamatan yang dilakukan pada beberapa RS menunjukkan bahwa sampai saat ini penerapan SPM masih belum sepenuhnya dapat dilakukan, untuk mengatasi kesenjangan ini dapat dilakukan upaya mengintegrasikan Clinical Pathway kedalam dokumen rekam medis.

Selain sebagai perangkat bantu, Clinical Pathway juga berfungsi sebagai perangkat koordinasi dan komunikasi bagi semua petugas yang terlibat dalam tatakelola pasien. Sebuah Clinical Pathway yang baik seyogyanya telah mencakup 60%-80% populasi pasien, hal ini berarti bahwa Clinical Pathway harus mampu mengantisipasi varians pada 20%-40% pasien. Sebuah Clinical Pathway haruslah bersifat fleksibel untuk mengantisipasi perubahan kondisi klinis pasien pada saat perawatan, dengan kata lain Clinical Pathway harus mampu mengakomodasi munculnya variasi dalam penerapannya. Beberapa langkah dalam Clinical Pathway bisa saja tidak diambil bila kondisi pasien diyakini sudah sangat baik, dan pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan ekstra bila kondisi klinis pasien tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk. Variasi yang muncul dalam aplikasi Clinical Pathway harus dicatat dan digunakan sebagai bahan evaluasi dari untuk meningkatkan kesempurnaan Clinical Pathway.

Kritik & Hambatan Dalam Implementasi Clinical Pathway

Kecurigaan adanya ancaman terhadap otonomi dokter sering merupakan kritik yang dilontarkan pada penerapan Clinical Pathway. Kritik lain adalah bahwa proses yang sangat terstandar seringkali dianggap sebagai bentuk pengekangan otomomi dokter, Clinical Pathway seringkali dianggap sebagai bentuk dari keseragaman dalam penatalaksanaan penyakit tertentu. Hal ini tentu saja tidaklah benar, Clinical Pathway memiliki fleksibilitas untuk berubah sesuai dengan kondisi pasien. Variasi dalam Clinical Pathway tentu saja harus pula sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah disepakati bersama.

Kecemasan akan sebuah tugas tambahan pada umumnya menghinggapi paramedik terkait dengan pemberlakuan sebuah Clinical Pathway. Seperti yang telah dibuktikan oleh Campbell, dkk, 1998, bahwa dalam pemberlakuan sebuah Clinical Pathway hambatan yang mungkin ditemui adalah sebagai berikut:
1. Ketidakmauan untuk berubah
2. Keterbatasan bukti ilmiah yang dapat diacu
3. Kurangnya dukungan untuk perbaikan mutu pelayanan kesehatan.

Bukti Riset Aplikasi Clinical Pathway di Mancanegara

Ketidak konsistenan dokter terhadap SPM yang terdapat dalam Clinical Pathway merupakan masalah utama yang sering ditemukan dalam penerapan evidence based medicine dalam praktek medis (Timmermans & Mauck, 2005), oleh karenanya diperlukan proses komunikasi dan edukasi yang intensif untuk menjamin Clinical Pathway dapat berjalan dengan baik. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menugaskan seorang manajer kasus yang bertindak sebagai fasilitator dan evaluator bagi pemberlakuan Clinical Pathway (Cheah, 2000). Selain itu pengembangan dan perluasan konsensus diperlukan agar sebuah SPM / SOP dan Clinical Pathway dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam layanan medik (Cabana dkk, 1999). Penelitian Panella, dkk (2003) memperlihatkan bahwa pemberlakuan Clinical Pathway, relatif dapat mengurangi variasi dalam pelayanan RS. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada kasus gagal jantung, Clinical Pathway memperbaiki luaran.

Kajian Hammond (2002), menyatakan bahwa pemberlakuan Clinical Pathway seyogyanya dipandang sebagai kesempatan untuk menilik peran masing-masing anggota tim, dan mengurangi duplikasi pekerjaan, mengefektifkan pemeriksaan penunjang dan terapi.
Kunci sukses penerapan Clinical Pathway adalah kepemimpinan klinik yang kuat, dukungan organisasi, edukasi staf, dan fasilitasi RS. Kepemimpinan klinik diperlukan untuk mendorong seluruh staf menjalankan Clinical Pathway yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik. Staf perlu mendapat pelatihan yang cukup tentang pelaksanaan Clinical Pathway dan pemilik / pengelola RS melakukankan fasilitasi untuk pengembangan dan pelaksanaan Clinical Pathway (Currey dan Harvey, 1998).

Beberapa penelitian mencoba membuktikan efektivitas Clinical Pathway dalam memperbaiki outcome klinis berbagai kondisi penyakit. Hasil yang diperoleh dari beberapa penelitian tersebut masih bervariasi, penelitian uji klinik Johnson, dkk (2000) menunjukkan bahwa rerata lama rawat hari inap lebih pendek secara bermakna pada kelompok pasien yang tatakelolanya menggunakan Clinical Pathway dibanding pasien lain. Penelitian lain oleh Owen, dkk (2006) menyimpulkan bahwa penerapan Clinical Pathway pada tatakelola penderita penyakit ginjal kronik terbukti secara bermakna meningkatkan edukasi pada pasien pra dialisis (74% Vs 50%) dan akses vaskuler permanen sebelum dialisis (83% Vs 24%). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wright, dkk (2002) memperlihatkan bahwa Clinical Pathway yang dikembangkan melalui Metode Konsensus mampu dilaksanakan secara optimal di RS nya.

Pada akhirnya kemampuan kita untuk menyerap dan mengaplikasikan suatu program yang menuju kearah perbaikan mencerminkan kedewasaan kita dalam bersikap serta memiliki nurani terhadap terhadap masalah yang sedang dihadapi bangsa (rakyat) dan negara saat ini.

"Tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan bunga, dan saya hanya merangkai bunga-bunga indah milik orang lain"
Wa Billahittaufik Walhidayah Wassalamualaikum WW.